Kamis, 10 November 2022

PRAHARA BERKAT GEREJA

 

 

Karya Yosep Adur

Kepulan asap rokok membubung dari lubang hidung mengatasi kepala, terus naik hingga hilang ditiup angin. Seperti kain selubung putih menghalangi raut wajah lelaki itu. Entah sudah batang yang ke berapa dihabiskannya. Dalam kepulan asap rokoknya, lelaki itu ingin sekali menerbangkan gumpalan beban yang mengganjal di rongga dada. Lelaki itu belakangan ini semakin sering merokok. Tak seperti perokok pada umumnya, mengisap rokok merk tertentu dalam jumlah tertentu. Lelaki itu, mengisap rokok apa saja. Dengan jumlah sekenanya, baginya yang utama adalah asapnya bukan merk rokoknya. Toh, yang paling ditunggu dari sebatang rokok yang telah dinyalakan ialah asapnya selain habis. Lelaki itu bernama Dorus, badannya kurus dengan rambut lurus. Dia adalah seorang guru Biologi di pedalaman Papua. Cita-cita memperbaiki nasib membawanya ke bumi Cenderawasih enam tahun silam. Kemiskinan telah mendidiknya menjadi seorang pribadi yang kuat. Asap masih terus mengepul dari dua lubang hidungnya dan terus berbelok arah menuju dahi, melewati kepala untuk hilang ditiup angin. Bagai kisah hidupnya yang penuh dengan lika-liku diterpa angin cobaan. Angin cobaan terus menerpanya dari seluruh mata penjuru. Bukan hanya dalam pekerjaan, persahabatan, Kesehatan, finansial tapi juga keluarga. “Kapan kalian berkat Gereja” bapa kecilnya bertanya pelan. Tetapi, terasa seperti angin kencang yang bergemuruh, memporak porandakan ketenangan batinnya. Namun secepat angin kencang itu pula, Dorus menguasai keadaan. Pengalaman melewati masa-masa sulit membentuk Dorus selalu siaga dalam berbagai situasi. “Masih diusahakan bapa, mudah-mudahan dalam waktu dekat” jawabnya. “kalo bisa secepatnya, kasian kalian berdua” tutup bapa kecilnya disambut oleh senyum dan anggukan kepala Dorus.

“Mama minta  tolong urus kami punya surat baptis e, kami mau urus berkat Gereja” kalimat itu terbayang di kepala Dorus. Kalimat itu diucapkan oleh Lena kepada mamanya dua tahun lalu. Permintaan yang diselimuti rasa haru bahwa selangkah lagi dia dan istrinya dapat merasakan suasana sakral saat mengikrarkan janji suci di depan altar Tuhan. “nanti kami urus” jawab dari seberang sana. Setelah sekian purnama berlalu Dorus meminta Lena untuk menanyakan mamanya Kembali apakah surat-surat yang diminta telah diurus ke Paroki? “Mama sudah diuruskah surat baptis punya saya?” tanya lena melalui telepon. “saya belum ketemu pastor paroki, nanti kami urus” jawab suara dari seberang sana datar. Sungguh jawaban yang sulit diterima akal sehat. “kalo ada tunggakan Gereja ma biar kami yang lunasi” kata Lena. “Iya, tapi tunggu setelah dicek ke paroki” jawab mamanya singkat. Ketika membayangkan itu muncul gelembung kecewa dalam ruang hatinya. Kecewa yang sedang bermetamorfosa menjadi murka. Murka yang tak terucapkan, menyerang , memprotes, menuduh dan bahkan mengutuk dalam diam. Dia termenung mengingat jawaban dari seorang ibu yang tak lain adalah mertuanya sendiri “Kalo mau urus datang sendiri, jangan bikin repot kami”, jawaban mama mertuanya terakhir kali sebelum memutus sambungan telepon. Jawaban-jawaban yang membuat dia ragu akan kebijaksanaan orang tua yang banyak dituturkan oleh orang-orang. Dia bertanya kepada dirinya sendiri. Pertanyaan yang tidak akan terjawab dalam sekejap mata. “Apakah ada orang tua yang tega merintangi perjalanan hidup anaknya sendiri’? jika ada, orang tua macam apakah yang seperti itu? Bahkan sekejam- kejamnya harimau, ia tak akan memangsa anaknya sendiri. Semakin lama semakin banyak pertanyaan dan semakin sedikit jawaban lalu berakhir dalam diam dan bimbang. “Kenapa sampe sekarang belum berkat Gereja juga?” bapa kecil lelaki itu bertanya seakan meniup gelembung kecewa  di dalam hatinya yang sudah lama mengembang. Tetapi lelaki itu tetap berusaha mengabaikan perasaannya, menarik napas panjang dan berbicara dengan tenang, “mungkin mereka sedang sibuk, jadi tidak sempat mengurus surat-surat itu ke paroki”. Jawaban itu tentu saja membohongi pengetahuannya sendiri. ia tahu dan yakin betul bahwa mama mertuanya tidak bersedia mengurusnya. “ah masa? Hanya mengurus itu saja kok lama sekali” ucap bapa kecilnya stengah memprotes. Sebagaimana biasa, lelaki itu terus berupaya menyembunyikan persoalan yang sebenarnya. Atas nama menjaga nama baik keluarga.

Hingga pada suatu hari lelaki itu mencoba menempuh jalur lain yang ia anggap bijak. “coba saya hubungi pastor paroki disana, semoga mendapatkan solusi yang bijak”. Katanya dalam hati. Dia meyakini bahwa pastor pasti memiliki kebijaksanaan untuk mengatasi kegalauannya selama ini. Akan tetapi, jawaban yang diharapkan tak jua datang. “Orang-orang modern sering mengatakan bahwa dalam menjalani kehidupan harus selalu punya plan B(plen Bi)”. Karena kalau plan A(plen Ei) gagal maka masih tersedia pilihan rencana lain. Dalam upaya mengurus berkat Gereja ini semua telah ditempuh dan semuanya gagal. Plan A gagal plan B juga gagal. Keyakinannya kali ini tidak terbukti. Bukannya lega malah yang didapat hanyalah kecewa. Kecewa karena yang diharapkan tidak tercapai. Alhasil, lelaki itu berkubang dalam kebimbangan. Bimbang terhadap kebijaksanaan orang tua Lena. Dia mengetahui dari cerita orang- orang tua bahwa orang tua adalah Tuhan yang tampak mata. Mereka berjuang untuk anak-anaknya. Hati mereka seperti hati malaikat. Memiliki kebijaksanaan yang tinggi dalam membimbing anak-anaknya. Mereka adalah tempat yang paling teduh untuk mengeluh. Ketika jauh merantau, mereka adalah alasan untuk pulang. Tetapi kini, cerita-cerita itu dihadapkannya pada kenyataan. Kenyataan yang bertolak belakang dengan pengetahuannya. Orang tua yang dia saksikan bukan saja tidak memiliki kebijaksanaan malah sebaliknya terkesan anti kebijaksanaan. Dia perlahan mulai ragu pada cerita-cerita itu. “Apakah cerita-cerita itu hanya legenda” tanyanya bernada protes dalam hati. Yang jelas kini, dia dilanda badai kebimbangan yang hebat. Ia juga   bimbang terhadap agama. Dia mengetahui bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu baik adanya. Selalu menghendaki hal-hal yang baik dan menjadikan hal-hal yang baik. Namun pengalamannya dalam mengurus pernikahan tak dapat dikatakan berjalan dengan baik. Pengetahuannya tentu bertolak belakang dengan pengalaman. “Kepada siapa lagi saya harus mencari solusi?”  

 

Apa yang dialaminya kini adalah buah dari pilihannya sendiri. Berawal dari perjumpaannya dengan Lena, gadis manis nan tenang. Ketika itu Dorus menghadiri suatu pesta perkawinan dari seorang kerabat di Timika provinsi Papua. Di pulau paling Timur Indonesia. Seorang teman memperkenalkan Dorus kepada Lena. Ketika itu Lena sedang berlibur ke rumah keluarga. Saat memiliki kesempatan berbicara empat mata, ia bertukar nomor whatsapp dengan Lena. Tidak berhenti disitu, untuk menjawab rasa penasaran, Dorus meminta akun facebook melalui chat whatsapp. “Enu saya minta alamat facebook punya ite kah, boleh?” pinta Dorus dengan nada paling lembut. “Boleh kaka”, Lena membalas tanpa ditambahkan emoji satu pun. Dorus yang telah sekian lama menjomblo merasa sangat gembira bagai tanah yang disirami hujan setelah dilanda kemarau amat panjang. Aromanya menyeruak memancarkan aroma yang khas. Entah mengapa setelah berkenalan dengan Lena dia merasa selalu riang dan penuh semangat. Sebuah rasa yang misteri. Rasa yang sulit diuraikannya dalam bentuk kata. Namun rasa yang dirasakannya itu sangat kuat. Rasa itu pula yang mengisi ruang kosong di bilik hatinya yang selama ini kosong. Dalam ilmu Pendidikan Biologi yang dipelajari selama kuliah belum pernah menemukan penjelasan tentang rasa yang sedang dirasakannya saat ini. Berulang kali ia membuka akun facebook Lena untuk melihat-lihat foto pemilik akun. Dia merasa ada kecocokan. Meskipun dia belum mengungkapkan perasaannya secara resmi baik secara online maupun offline. Diam-diam dia meyakini bahwa pencarian yang sangat panjang dan lama akan tulang rusuknya yang hilang telah ditemukannya dalam diri Lena. “Watak dan pembawaan, Pas. Tidak kurang tidak lebih. Kalau ada yang kurang mungkin hanya Pendidikan. Namun Pendidikan dapat diupayakan” Dorus berkata kepada dirinya seolah sedang menjelaskan kepada orang lain. Bagi Dorus Pendidikan hanya memperkuat watak bawaan akan tetapi watak yang buruk sulit diperbaiki. Dalam perjalanan, kedekatan itu terus terjalin dan makin akrab dari waktu ke waktu. “Abang, nanti kalo mau serius kita ketemu sa pu keluarga dulu e” ujar Lena dibungkus senyuman. “Boleh” sahutnya. Seolah-olah memamerkan bahwa dia merupakan lelaki beradab. Benarlah kata Kahlil Gibran bahwa cinta bisa membutakan mata. Ketika cinta sedang bergelora maka logika berada di bawah ketiak rasa. Rasalah yang paling berkuasa. Cinta juga menihilkan kewaspadaan. Akibatnya segala sesuatu dipandang yang indah-indahnya saja. Karena hubungan makin dekat maka komunikasi juga makin intens dengan pihak keluarga. Meskipun melalui telepon video atau telepon suara. Semua terjadi dan berjalan secara natural. “Nana mai pesiar cee beo eme libur sekolah, kudut cumang tau pe” (Nak, kalau pas libur sekolah bisa pulang kampung, supaya bisa bertemu) pinta calon mama mertuanya dalam Bahasa Manggarai yang kental. Permintaan itu dipahaminya sebagai sebuah permintaan murni yang didasari oleh kerinduan antara orang tua dengan anak. Pembicaraan yang semakin sering dilakukan seperti pupuk bagi tumbuh dan mekarnya cinta yang suci. Akhirnya pertemuan pun berlangsung ketika musim liburan sekolah tiba dalam suasana haru, hangat dan penuh dengan rasa cinta yang positif. “Mama ami ga kudut kole lau tana pala, ngaji latang te ami kudu tela galang agu mose api kete one kilo dami” (Mama kami mau Kembali ke perantauan, doakan supaya hidup rumah tangga kami mendapatkan berkat secukupnya) ujarnya meminta diri kembali ke perantauan. sungguh pertemuan yang cepat namun tersimpan lama dalam kenangan.

Kesulitan demi kesulitan yang dihadapi Dorus dalam mengurus berkat Gereja bagai tembok kokoh merintangi harapan mengikrarkan janji sucinya kepada Lena di depan altar Tuhan. Perkawinan suci tinggal impian. Orang tua yang semula diharapkan dapat memberikan dukungan malah berbalik menjadi batu sandungan. Hari-hari Dorus semakin kelabu. Hatinya yang dulu dipenuhi rasa gembira kini berubah menjadi kecewa. Tak pernah dia bayangkan pertemuan yang penuh kehangatan pada liburan sekolah lalu hanya menjadi jembatan menuju neraka kekecewaan ini.  “Akan tetapi dalam kisah penyelamatan manusia, juga terjadi pengkhianatan. Yudas adalah tokoh pengkhianatan itu, dengan ciuman dia menyerahkan Tuhan Yesus Kristus ke tangan para algojo”.ucapnya dalam hati. Dia menyadari bahwa apa yang dialaminya meskipun secara keseluruhan tidak sama tetapi prosesnya mirip-mirip sedikit. Lagi ia berkata dalam hati “ini juga pengkhianatan”. Lama ia merenung, mengintrospeksi dan merefleksikan diri. Namun ia belum menemukan apa sebenarnya penyebab dari semua prahara keluarga ini. “Apa kesalahan yang telah saya lakukan? Bukankah semua langkah menurut adat istiadat telah dilakukan?” tanyanya kepada diri sendiri.

Dorus berpikir keras, berupaya mencari jalan keluar. Dia menyadari bahwa pikirannya kacau, kesehatannya terus menurun. Semenjak pertama menghadapi masalah ini. Semenjak itu pula ia mulai akrab dengan teman di kala sepi yaitu asap rokoknya sendiri. “Saya harus sehat dan terus berdoa” ujarnya dalam hati. Sebab jika sakit tentu saja masalah akan bertambah berat. Dia juga harus terus berdoa supaya tetap kuat dan tabah dalam menghadapi masalah hidup. Saking keras berpikir, ia jadi semakin bersemangat membaca buku. Terlebih buku-buku atau novel yang menceritakan masalah dalam hidup dan usaha-usaha untuk menghadapinya. Dan buku yang membahas tentang cara menghadapi persoalan dalam hidup. Buku- buku itu menerangi dan menginspirasi sikapnya dalam menghadapi persoalan dalam hidup. Dia mempraktekkan apa yang dibacanya, dan membaca kembali apa yang dipraktekkannya. Membaca buku bukan sebatas memperluas cakrawala berpikir tetapi memperluas perspektif dalam menyikapi masalah kehidupan. Buku-buku yang dibacanya bukan sekedar kata-kata yang tercetak melainkan suara yang berseru-seru menuntun. Dia menyadari ketidakberdayaannya dan mulai melihat persoalan ini secara objektif. Bahwa segala sesuatu yang terjadi itu tidak sepenuhnya dapat ia kendalikan. Kekhawatiran, tekanan yang dialaminya dalam mengurus berkat gereja bukanlah sesuatu yang dapat ia kendalikan. Hal itu disebabkan oleh adanya pihak lain yaitu keluarga yang terlibat. Setelah memisahkan hal yang dapat dikendalikan dari yang tidak dapat dikendalikan, ia perlahan-lahan juga membetulkan interpretasinya terhadap segala sesuatu yang telah terjadi. “Sekarang aku memang belum memecahkan persoalan namun aku dapat memperbaiki cara pandang terhadapnya” gumamnya. Sekarang saya memutuskan untuk ikhlas. Mencoba menang dengan bertahan. Menerima segala sesuatu yang telah terjadi, karena itu semua sifatnya netral. Sedangkan interpretasi terhadap sesuatu itulah yang memberi kesan baik ataupun buruk. Dia menyadari dirinya dan menerimanya dengan ikhlas. Segala sesuatu akan indah pada waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir komentar

TUGAS INDIVIDU KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.3   Bagaimana perasaan Anda setelah mempelajari modul ini? Setelah mempelajari mod...