Rabu, 11 November 2020

Balada Rindu Keluarga

Di sebuah malam yang gelap pekat, aku terbaring di alas tikar yang sederhana. Tak bisa bernapas lega sebelum hujan reda. Hujan akhir Januari memang sedang mencapai puncaknya. Sudah musimnya maka tak ada siapapun yang dapat menghalanginya. 


Seperti air mata yang terus menggenangi kelopak mata tatkala rindu pada orangtua mencapai puncaknya. Rindu                    bercampur rasa bersalah karena tak bisa menemani mereka menikmati usia senja. Senja perjalanan,senja perjuangan dan senja penantian. 


Di saat raga mereka sudah lelah,  tenaga mereka sudah lemah,fisik mereka kalah,saat itulah kehadiran anak-anak sangat dibutuhkan. Memberikan sedikit perhatian dan kasih sayang. Membangkitkan semangat yang kian redup. Keadaan yang seperti itulah yang kerap memanggil rindu itu selalu datang. Rindu memeluk tubuh yang sudah renta,dengan tenaga yang tidak sekuat dulu. Rindu juga pada Omelan yang telah lama tidak kudengar lagi. Rindu pada kebiasaan-kebiasaan yang dulu nyesalin mereka. Ternyata sekarang semua suasana yang pernah dialami pada masa silam,amat sangat dirindukan tanpa terkecuali.


Di sini aku hanya melongok membayangkan keindahan-keindahan suasana di rumah. Keadaan yang tak mampu diulang kembali namun selalu dapat dikenang. Kini semua telah dewasa, masing-masing kita berkutat pada kesibukan sendiri. Berjuang dengan cara sendiri-sendiri. Berjibaku bergulat melawan zaman. Kalian disitu,disana sementara aku disini. Aku menanggung rindu pada masa-masa kita masih bersama, berdiam di rumah panggung dengan seluruhnya papan membungkus. Seng karat mengatapinya dan tanaman kopi milik papa membentengi bagian belakangnya. Sedangkan "natas" membentang di hadapannya. Itulah lapangan sepak bola tempat kita beradu pada masa itu. 


Masa itu kita belum mengenal "rindu" apalagi berpikir tentangnya. Seandainya lebih awal kita mengenal yang namanya "rindu" mungkin kita tak pernah saling sikut, saling tanduk dan bahkan saling mengalahkan. Mungkin kita akan berusaha sabaran dan lebih banyak bekerja sama dengan baik. Tidak ada saling olok dan ejek namun saling ajak dan ajeg. Kini setelah belasan tahun berlalu aku bertemu dengan "rindu" dia membuka kembali lembaran demi lembaran kisah kita yang tercatat rapi dalam memori.

Sebuah Refleksi : Mimpi Di Tengah Pandemi

 Sepanjang bulan Maret kita terbenam dalam isu tunggal yaitu Covid-19. Semua media dibanjiri pemberitaan tentangnya. Mulai dari korban meninggal, peningkatan jumlah kasus Covid-19, sampai dampak lainnya yang mengikuti seperti relasi sosial dan sosial ekonomi kian mengkhawatirkan. Kita tiba pada suatu keadaan antara menangisi mereka yang sekarang menjadi korban atau bersiap-siap ditangisi, jika tidak mengantisipasinya sejak dini.


Psikologi publik benar-benar terpengaruh, banyak orang dihinggapi kecemasan akut. Merasa bahwa kematian amat sangat dekat. Kecurigaan meningkat, hubungan sosial merenggang, sosial ekonomi menukik jatuh. Publik menjadi panik.


Realitas panik mengguncang akal sehat kita. Sementara perdebatan mengenai lockdown total dengan lockdown mandiri yang mengandaikan kesadaran orang per orang masih terdengar sumbang di antara para tokoh. Masalahnya ialah kesadaran masyarakat kita masih sangat rendah terhadap bahaya Covid-19 di samping itu kebutuhan ekonomi mendesak sebagian dari kita sehingga tetap beraktivitas. Sungguh dilematis, berdiam diri mati, beraktivitas juga mati. Pada titik inilah simpul yang mendesak untuk dipecahkan agar situasi kembali normal dan teduh. Jika ini situasi perang dan Covid-19 ialah musuh negara, mengapa kita tidak menghadangnya di pintu-pintu masuk negara? Bukankah itu suatu keputusan cerdas daripada membiarkannya masuk kemudian berusaha membunuhnya?


Dalam situasi seperti sekarang, tingkat kemanusiaan kita ditakar. Apakah kita hanya peduli keselamatan diri sendiri, peduli keselamatan bersama, atau tidak peduli kedua-duanya atau bahkan yang  lebih parah lagi kita memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan keuntungan pribadi? Untuk kalimat yang terakhir  ialah jenis manusia dengan tingkat kemanusiaan paling rendah. Medan perjuangan menanti kontribusi kita. Kita dipanggil menjadi manusia jenis apa.


Sebaiknya kita menjadi manusia yang peduli keselamatan bersama. Menempatkan kemanusiaan di atas kepentingan lainnya. Sebab kemanusiaan melampaui batas-batas primordial seperti Suku, Agama dan Ras. Contohnya sudah banyak diberitakan oleh media. Misalnya Rusia dan China mengirim bantuan kemanusiaan ke Italia yang paling parah terdampak pandemi ini. Atau berita bagi-bagi masker gratis di sebuah kabupaten di Jawa Timur hingga donasi yang dilakukan oleh sejumlah pengusaha di Kalimantan Barat untuk mendukung pemerintah dalam upaya mengatasi wabah Covid-19. Pertanyaan reflektifnya untuk direnungkan, apa kontribusi anda menghadapi pandemi ini?

Arti Sunyi

 Lama sudah raga menggeluti sunyi. Sejak seruan sosial distancing atau physical distancing (jaga jarak fisik dan sosial) menggema. Berniat solider dengan sesama meredam wabah yang kini melanda. Siapa yang tak gentar jika nyawa manusia mengutak-atik angka data yang diberitakan media akibat keganasan Corona?


Bagiku jauh dari keluarga ialah hal yang biasa. Pergi mengejar mimpi agar kelak pulang membawa arti. Bepergian jauh bukanlah tantangan baru. Namun kini di tengah pandemi bukan hanya raga yang berjibaku dengan sunyi melainkan juga jiwa.


Saat sendiri dalam sunyi itulah saat penuh arti. Melihat diri yang sejati tanpa itu dan ini. Memandangnya dalam keadaan yang murni dan asli. Menyadari bahwa kehadiran orang lain itu amat perlu. Perlu orang lain untuk sekedar berbagi cerita atau bahkan untuk menyalurkan isi hati. Walaupun semakin sulit dijumpai di dunia teman sejati tempat untuk berbagi. Makin sedikit orang memiliki ketulusan, keluhuran budi memudar dan kejujuran lenyap(jika tak percaya amati sekitarmu meski dalam diam, ingat hanya amati tanpa menghakimi). Namun kita tetap memerlukan orang lain untuk tetap hidup. Contohnya, pedagang. Kepada siapakah dia menjual dagangannya tanpa orang lain yang membeli. Atau seorang pemuda yang hendak jatuh cinta jika tidak ada orang lain (khusunya pemudi dalam konteks cinta yang lazim) untuk menyambut cintanya. Dalam sunyi itu pulalah aku menemukan diri yang sejati. Sama sekali tak berarti tanpa kasih Ilahi. Demikian sepi tanpa orang lain menemani.


Dalam kesendirian aku menemukan keheningan  dan dalam keheningan aku merasakan kedamaian. Sesuatu yang tidak akan pernah kita dapatkan dalam keramaian. Keramaian seringkali menghasilkan euforia yang dangkal. Hanya bersifat lahiriah yang kasat mata bukan batiniah yang tak kasat mata. Dengan bahasa lain, keramaian sering bersifat senang-senang secara fisik sedangkan jiwa kita hampa makna. Keadaan sepi yang melanda hendaknya mendidik jiwa dan hati kita. Menggugah kepekaan nurani bukan saja keperkasaan badani.


Di dunia yang penuh dinamika, segalanya pasti akan berubah. Tidak ada yang abadi apapun itu. Duka akan diganti suka, kesedihan akan berlalu diganti kebahagiaan, seperti juga ketakutan diganti keberanian. Janganlah resah ayo pasrah, jangan gelisah mari berbenah, stop depresi mari berefleksi. Socrates berujar "Hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak pantas untuk dihidupi".

TUGAS INDIVIDU KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.3   Bagaimana perasaan Anda setelah mempelajari modul ini? Setelah mempelajari mod...