Di sebuah malam yang gelap pekat, aku terbaring di alas tikar yang sederhana. Tak bisa bernapas lega sebelum hujan reda. Hujan akhir Januari memang sedang mencapai puncaknya. Sudah musimnya maka tak ada siapapun yang dapat menghalanginya.
Seperti air mata yang terus menggenangi kelopak mata tatkala rindu pada orangtua mencapai puncaknya. Rindu bercampur rasa bersalah karena tak bisa menemani mereka menikmati usia senja. Senja perjalanan,senja perjuangan dan senja penantian.
Di saat raga mereka sudah lelah, tenaga mereka sudah lemah,fisik mereka kalah,saat itulah kehadiran anak-anak sangat dibutuhkan. Memberikan sedikit perhatian dan kasih sayang. Membangkitkan semangat yang kian redup. Keadaan yang seperti itulah yang kerap memanggil rindu itu selalu datang. Rindu memeluk tubuh yang sudah renta,dengan tenaga yang tidak sekuat dulu. Rindu juga pada Omelan yang telah lama tidak kudengar lagi. Rindu pada kebiasaan-kebiasaan yang dulu nyesalin mereka. Ternyata sekarang semua suasana yang pernah dialami pada masa silam,amat sangat dirindukan tanpa terkecuali.
Di sini aku hanya melongok membayangkan keindahan-keindahan suasana di rumah. Keadaan yang tak mampu diulang kembali namun selalu dapat dikenang. Kini semua telah dewasa, masing-masing kita berkutat pada kesibukan sendiri. Berjuang dengan cara sendiri-sendiri. Berjibaku bergulat melawan zaman. Kalian disitu,disana sementara aku disini. Aku menanggung rindu pada masa-masa kita masih bersama, berdiam di rumah panggung dengan seluruhnya papan membungkus. Seng karat mengatapinya dan tanaman kopi milik papa membentengi bagian belakangnya. Sedangkan "natas" membentang di hadapannya. Itulah lapangan sepak bola tempat kita beradu pada masa itu.
Masa itu kita belum mengenal "rindu" apalagi berpikir tentangnya. Seandainya lebih awal kita mengenal yang namanya "rindu" mungkin kita tak pernah saling sikut, saling tanduk dan bahkan saling mengalahkan. Mungkin kita akan berusaha sabaran dan lebih banyak bekerja sama dengan baik. Tidak ada saling olok dan ejek namun saling ajak dan ajeg. Kini setelah belasan tahun berlalu aku bertemu dengan "rindu" dia membuka kembali lembaran demi lembaran kisah kita yang tercatat rapi dalam memori.